Skip to main content

Pertemuan Singkatlah yang Selalu Membekas (bagian 4)

.................

"Ini pak, BPKB nya. Dan ini surat pengantar kelurahannya."

Polisi itu menerima berkas yang Raiya sodorkan. Dia mencatat nama Raiya di sebuah buku. Buku itu besar, seperti buku untuk mencatat nomor surat yang ada di sekolahnya. Mungkin fungsinya hampir sama. Bedanya, semua data dirinya dimasukkan. 

Pak polisi yang terlihat menakutkan yang ada di belakang bertanya pada Raiya.

"Rumahnya mana, mbak ?"

"Sorosari, pak."

"Ooo." Pak polisi itu hanya menjawab singkat.

Polisi yang ada di depan Raiya, sebut saja Pak Ferdi, mulai bertanya padanya sambil mencatat.

"Pekerjaannya apa ?"


"Mahasiswa, pak."

Dia melihat Raiya, kemudian bertanya lagi. "Kuliah dimana, mbak ?"

"Di UT, pak.."

"Sama.." Polisi itu menjawab sambil mencatat. Tanpa melihat Raiya.

"Heh ?" Raiya sedikit bingung dengan jawaban polisi itu. Ia ingin bertanya lagi, tapi buat apa. Malu ah, nanti dikira ia kepo.

Polisi itu terus bertanya apa yang akan dia catat di buku besar itu.

"Hilangnya dimana ?"

"Di pom bensin Garu."

Sesekali polisi itu melihat Raiya. Raiya merasa agak sedikit gugup. Ia bergumam dalam hati. Kemarin sepertinya polisi ini biasa saja. Tapi kenapa hari ini aku merasa aneh. Matanya...

Polisi itu bertanya lagi. "Motornya apa ?"

"Itu di BPKB kan ada, pak."

Polisi itu melihat BPKB motor yang dibawa Raiya. Tiba-tiba dia berdiri dan melihat ke arah luar. Lalu tersenyum. Raiya mendongak ke atas, melihat wajah polisi itu dari bawah. Ia terheran-heran. Kenapa polisi ini ?

Polisi itu duduk lagi. Dia mencatat kembali di buku besar.

Tak lama kemudian, dia bertanya lagi, "SIM nya SIM apa ?" Sambil memandang ke arah Raiya.

Raiya sedikit lupa, jadi agak ragu ia menjawab. "Sepeda motor SIM C kan, pak ?"

"SIM apa ya ?" sambil berfikir.

"Iya, kan.. SIM C." Raiya tersenyum.

"Oh, tak tonjok lho.." Polisi itu berkata sambil tersenyum dan berpura-pura menunjukkan kepalan tangannya. Raiya hanya tersenyum melihat tingkah polisi itu.

"Lhoh, gimana sih ?" Raiya tersenyum sambil bergumam. 'Ini polisi aneh, masa SIM aja nggak bisa mbedain.' Ia tertawa dalam hati. Dari situlah, Raiya mulai tertarik. Lucu juga. Jarang ada polisi yang seperti ini. Raiya mulai teringat keramahan polisi ini kemarin.

"Lupa.... SIM C apa SIM A ya ?" polisi itu berkata sambil tersenyum. Clingak-clinguk lalu menghadap ke belakang, bertanya pada yang lain. Mungkin dia merasa malu.

Dia lalu berkata sambil memandang Raiya, "SIM C ya." 

Raiya hanya bisa tersenyum. Perasaan sedih itu berangsur hilang berkat tingkah polisi yang ada di depannya. 

Polisi itu mencatat lagi. Kemudian bertanya, "Kartu ATM nya apa ?"

"BRI, pak."

Sambil menunggu, Raiya melihat salah satu bapak polisi yang ada di belakang masuk ke ruangan yang ada di dalam meninggalkan yang lain.

Tiba-tiba Pak Ferdi berdiri lagi, melihat ke arah luar dan tersenyum lagi. Raiya yang terheran-heran memberanikan diri untuk bertanya.

"Kenapa sih, pak ?" Raiya bertanya sambil tersenyum. Lalu ia ikut melihat ke arah luar. "Ngeliatin motorku ya.. Ngejek pasti." 

Dia tersenyum mendengar perkataan Raiya. "Bukan, kok. Bukan gitu.. Cuma liat aja. Motornya sama kayak punyaku. Nanti tak liatin, ada fotonya di hp..." sambil tersenyum melihat Raiya dan kembali duduk.

Dia melanjutkan menulis. 

Tak lama, polisi itu beranjak, dan berkata kepada Raiya. "Tunggu sebentar ya.."

"Ya." Raiya menunggu polisi itu mengetik. 

Raiya melihat ke arah komputer. Komputer itu sudah terlihat usang. Model layarnya masih tabung, model keluaran dulu. Jari-jari polisi itu cekatan menekan tombol keyboard yang juga sudah usang, sampai berbunyi keras seperti mesin ketik. Raiya diam-diam memperhatikan cara polisi itu mengetik. 

Raiya merasa bosan. Hanya suara ketikan yang terdengar. Bapak polisi yang dari tadi menonton moto GP mulai beranjak masuk ke dalam meninggalkan Pak Ferdi yang sedang mengetik dan dirinya. Sesekali Raiya mengeluarkan ponselnya agar tidak bosan.

Tiba-tiba polisi itu bertanya. "KTP nya, KTP apa E-KTP ?"

Raiya terkejut dan hanya menjawab, "E.."

"Eeeeee..........." polisi itu membuat candaan dari jawaban Raiya. Kemudian kembali mengetik. Raiya tersenyum melihat tingkah polisi itu. Humoris. Kata itu muncul di kepala Raiya.

Beberapa menit kemudian suara ketikan berhenti, diganti dengan suara mesin yang mulai mencetak surat laporan kehilangan Raiya. Mesin itu mirip seperti printer yang ada di sekolah. Tapi lebih kecil dan sepertinya Raiya pernah melihatnya. Dan ia teringat beberapa waktu lalu saat ke kantor pajak. Ya, modelnya persis seperti mesin cetak di kantor pajak. Beberapa kertas keluar dari mesin itu. 

Pak Ferdi berdiri, menunggu semua kertas itu keluar. Kemudian dia mengambilnya dan membawanya ke meja administrasi. Raiya melihat tangan polisi itu seperti gugup, membuat kertas-kertas itu bergerak. Dia mengambil pulpen, lalu menandatangani surat-surat itu. Semua isi surat itu sama. Lalu, dia memberi cap di semua surat yang sudah dia tanda tangani. Dia berbicara kepada Raiya.

"Ini suratnya sudah jadi. Dipakai satu-satu ya... Yang ini untuk STNK, yang ini untuk SIM, yang ini KTP, yang terakhir untuk Kartu ATM." Polisi itu menjelaskan sambil melingkari di masing-masing surat sesuai dengan keperluan.

Raiya mengangguk sambil memperhatikan. Karna ia belum tau kegunaan surat-surat itu, ia bertanya.

"Terus ini gimana, pak? Kalau STNK ngurusnya dimana ?"

"STNK nanti ngurusnya di Samsat Kabupaten. Nah, yang SIM buatnya dimana ?"

"Di kota, pak. Terus kalau dulu buatnya di kota gimana ?"

"Lhaa.. Itu mbaknya udah menyalahi aturan.. Harusnya dulu buat di kabupaten. Bilang dulu aja ke kota. Tapi ya nggak tau bisa atau nggak. Soalnya kemarin udah ada pembersihan. Kalau nggak ya kemungkinan buat lagi."

"Yaah. Gitu ya, pak. Ya udah lah."

"Kalau yang KTP bisa diurus di Capil. Yang kartu ATM bisa diurus di bank yang membuat."

"Ooh, ya, pak. Terima kasih."

"Ini surat-suratnya. Ini yang satu saya simpan untuk dokumen administrasi di sini." Pak Ferdi menyerahkan surat itu kepada Raiya. Dia mengambil surat pengantar kelurahan yang disodorkan Raiya tadi. Dan sejenak berhenti mengamati KK yang terselip dibawahnya sambil tersenyum. Raiya hanya memperhatikannya.

Dia berdiri lagi dan melihat ke depan. Memperhatikan motor Raiya. Raiya hanya mendongak memperhatikan wajah polisi itu dari bawah. Raiya merasa ada kemiripan dengan seseorang jika dilihat dari bawah. Ya, mirip ayahnya. Entah mungkin karena dia rindu ayahnya, atau memang mirip. Polisi itu tersenyum.

"Ini tak liatin motornya. Bentar tak bukain." Dia mengeluarkan ponselnya. Kemudian fokus mencari foto yang akan dilihatkan ke Raiya dan duduk kembali.

Dalam hati, Raiya hanya berkata, 'Dia menghiburku. Aku yakin dia mencoba menghiburku. Dia tau kalau aku sedang membutuhkan seseorang yang bisa membuatku tertawa. Apa yang harus aku lakukan? Aku ingin meminta nomor ponselnya, tapi aku malu. Aku sudah tertarik padanya.' Semua kesedihannya berubah menjadi perasaan lain. Ya, Raiya mengagumi sosok yang ada di depannya itu.

"Ini, lihat. Sama kan? Ini warnanya juga merah.." Dia memberikan ponselnya kepada Raiya.

"Eh, iya." Sejenak Raiya memegang dan memperhatikan ponsel polisi itu dengan tersenyum. Lalu mengembalikannya. 

"Aku bukan ngejek kok, memang punya." dia berkata sambil tersenyum.

"Iya, pak. Aku tau." Sambil bergumam dalam hati dan tersenyum. 'Memangnya tampangku ini kelihatan seperti orang yang tidak mudah percaya sama omongan orang lain ya, pak..'

Raiya kemudian memasukkan stopmap nya ke dalam tas. Polisi itu berdiri dan membereskan semua yang ada di meja administrasi. Sambil berkata dan menatap Raiya.

"Semoga semuanya segera beres dan bisa digunakan lagi ya, mbak Raiya.."

Raiya mengangguk dan sambil menatap polisi itu. "Iya, pak. Terima kasih." 

Kata-kata yang baru saja dia ucapkan, membuat Raiya bergetar. Raiya merasa itu adalah perhatian yang lebih dari seorang polisi. Seolah-olah polisi itu mendoakannya. Yang kedua adalah tatapan matanya. Ya, tatapan mata polisi itu berbeda, membuat hatinya tenang. Dan yang terakhir adalah tingkahnya. Dia seperti salah tingkah di depan Raiya. Entah itu hanya perasaan Raiya atau memang iya. 

Lalu ia beranjak dan pergi. Sebenarnya ia ingin sekali meminta nomor ponsel polisi itu. Tapi malu. Ia mengurungkan niatnya itu. Ia keluar menuju motonya. Polisi itu masih berdiri di belakang kaca. Entah, dia melihat Raiya dari belakang atau melihat yang lain. Kebetulan ada seorang ibu penjual pakaian yang menawarkan dagangannya lewat pintu. Sambil menaiki motornya, Raiya masih melihat ke arah kantor. Polisi itu sedang berbicara dengan ibu itu. 

Raiya melihat ada yang berbeda dengan polisi itu. Entah hanya perasaannya saja atau memang iya. Wajahnya berseri, seperti mengeluarkan cahaya.

Raiya bergegas pergi meninggalkan polsek. Di dalam hatinya ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan. Tapi tidak bisa. Ya, Raiya tertarik dengan polisi itu. Walaupun dibenaknya, itu memang tugas seorang polisi, tapi Raiya yakin kalau perhatian tadi berbeda. Berbeda tidak pada umumnya.

➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤➤

Tepat sebulan setelah itu, Raiya melihatnya di pertigaan. Ya.. Yang tak pernah ia duga. Raiya hanya bisa melihatnya, tapi ia merasa bahagia. Walaupun tidak berlangsung lama. Hanya beberapa kali polisi itu berdiri disana.

Raiya yakin pernah melihatnya sadar saat Raiya memperhatikannya. Sampai-sampai dia memalingkan wajahnya. Tapi, Raiya belum tau itu hanya perasaannya, faktor kesengajaan, atau kebetulan.

Sampai saat ini, pertemuan-pertemuan itu masih membekas di hati Raiya. Ia belum sempat menanyakan kabar dan nomor ponselnya. Tapi Raiya yakin bahwa suatu hari nanti, jika memang ditakdirkan, pasti akan bertemu kembali. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah berdoa dan berusaha memperbaiki diri. Mungkin rencana Tuhan akan lebih indah dari yang ia bayangkan.

Pertemuan yang lama belum tentu bisa membekas di ingatan kita. Tapi, pertemuan singkat yang berharga bagi mereka, akan selalu membekas dan terus diingat. Sekian cerpen pendek dari saya. Maaf, masih pemula, amburadul :D

Comments